Pagi itu aku terjaga dari tidurku
karena suara langkah kaki yang mondar─mandir. Ya, itu suara langkah kaki Ulya.
Sebagai seorang cewek, Ulya adalah cewek yang rajin. Minimal lebih rajin dariku.
Dia teman sekamarku. Sudah hampir 7 bulan belakangan ini aku berada satu atap
dan satu kamar dengannya. Awalnya aku canggung untuk memperlihatkan kebiasaan
burukku bangun siang atau kebiasaan burukku yang lain. Kalo kata anak─anak gaul
jaman sekarang sih ‘JAIM’ atau jaga image.
Tapi kalo dipikir─pikir, cepat atau lambat dia juga akan tahu kebiasaanku
dan akhirnya kita sama─sama terbiasa dengan hal itu. Sebagai teman sekamar,
kita termasuk teman yang akur dan tidak pernah bertengkar. Semoga selalu
seperti itu.
Sebenarnya bukan sepenuhnya salahku
karena aku bangun terlambat. Menurutku itu juga campur tangan kafein dalam
capcin. Capcin adalah sejenis minuman mix
antara capucino, gula dan susu bubuk yang diblender dengan cincau lembut
sebagai topping. Sebenarnya aku suka
dengan minuman asli Jember ini tapi ya gitu deh bikin gak bisa tidur. Reaksinya
akan terasa beberapa saat setelah menghabiskan segelas capcin. Jadi, ini adalah
salah satu menu wajib kalo mau begandang nyekripsi atau sekedar nonton film.
Tidak lama setelah membuka kelopak
mata, aku merasakan suhu antara 26°─28°C. Bukannya sok scientis
menyebutkan suhu seperti itu. Minimal aku pernah merasakan suhu seperti pagi
itu di dalam laboratorium. Rupanya aku merasakan itu karena pintu kamarku
terbuka. Kebetulan di depan kamarku tidak terhalang oleh ruang atau bangunan
lain, tapi langsung outdor. Dari
dalam kamar aku bisa melihat langit secara langsung. Yah, hunian yang cukup
nyaman di perantauan apalagi tidak terlalu menguras kantong untuk membayar
sewanya. Itu menambah daftar kriteria kos idaman para mahasiswa rantau. Tiba─tiba
aku duduk, walaupun masih di atas tempat tidur. Dengan tatapan kosong dan
rambut masih acak─acakan seperti singa aku mulai berpikir untuk menulis. “Tapi
apa aku bisa?”, tanyaku dalam hati. Sebenarnya aku bisa menulis, walaupun bukan
ahli menulis. Paling tidak aku pernah menghasilkan beberapa tulisan berbentuk
cerpen walaupun temanya masih sedikit norak ala ababil yang sedang jatuh cinta
atau sedang putus cinta. Setidaknya aku pernah mencoba.
Aku malu menulis. Aku malu tulisanku
dicibir atau diejek orang. Aku sadar, aku cuma mahasiswa fisika yang identik
dengan penurunan rumus, membaca buku tebal para ilmuwan, walaupun aku tidak
melakukan itu semua. Karena pada kenyataannya aku cuma mahasiswa fisika yang
biasa saja dan tanpa keahlian. Aku yakin bukan tanpa keahlian, aku hanya belum
menemukan dan menyadari apa keahlianku. Aku ingin menulis. Setidaknya walaupun
tidak sebagus tulisan anak sastra, aku sudah mencoba. Mungin itu sedikit
berguna untuk memperbanyak kosa kata saat aku menulis skripsiku saat ini. Ya,
aku ingin menulis. Rupanya embun pagi memberiku inspirasi untuk berani menulis.
Embun pagi juga menjadi
salah satu alasan untukku bangun pagi. Udara yang sejuk membuat
otakku bekerja lebih baik. Semoga embun pagi selalu menginspirasi dan selalu seperti
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar