Senin, 26 Januari 2015

Embun Pagi dan Inspirasi



            Pagi itu aku terjaga dari tidurku karena suara langkah kaki yang mondar─mandir. Ya, itu suara langkah kaki Ulya. Sebagai seorang cewek, Ulya adalah cewek yang rajin. Minimal lebih rajin dariku. Dia teman sekamarku. Sudah hampir 7 bulan belakangan ini aku berada satu atap dan satu kamar dengannya. Awalnya aku canggung untuk memperlihatkan kebiasaan burukku bangun siang atau kebiasaan burukku yang lain. Kalo kata anak─anak gaul jaman sekarang sih ‘JAIM’ atau jaga image. Tapi kalo dipikir─pikir, cepat atau lambat dia juga akan tahu kebiasaanku dan akhirnya kita sama─sama terbiasa dengan hal itu. Sebagai teman sekamar, kita termasuk teman yang akur dan tidak pernah bertengkar. Semoga selalu seperti itu.
            Sebenarnya bukan sepenuhnya salahku karena aku bangun terlambat. Menurutku itu juga campur tangan kafein dalam capcin. Capcin adalah sejenis minuman mix antara capucino, gula dan susu bubuk yang diblender dengan cincau lembut sebagai topping. Sebenarnya aku suka dengan minuman asli Jember ini tapi ya gitu deh bikin gak bisa tidur. Reaksinya akan terasa beberapa saat setelah menghabiskan segelas capcin. Jadi, ini adalah salah satu menu wajib kalo mau begandang nyekripsi atau sekedar nonton film.
            Tidak lama setelah membuka kelopak mata, aku merasakan suhu antara 26°─28°C. Bukannya sok scientis menyebutkan suhu seperti itu. Minimal aku pernah merasakan suhu seperti pagi itu di dalam laboratorium. Rupanya aku merasakan itu karena pintu kamarku terbuka. Kebetulan di depan kamarku tidak terhalang oleh ruang atau bangunan lain, tapi langsung outdor. Dari dalam kamar aku bisa melihat langit secara langsung. Yah, hunian yang cukup nyaman di perantauan apalagi tidak terlalu menguras kantong untuk membayar sewanya. Itu menambah daftar kriteria kos idaman para mahasiswa rantau. Tiba─tiba aku duduk, walaupun masih di atas tempat tidur. Dengan tatapan kosong dan rambut masih acak─acakan seperti singa aku mulai berpikir untuk menulis. “Tapi apa aku bisa?”, tanyaku dalam hati. Sebenarnya aku bisa menulis, walaupun bukan ahli menulis. Paling tidak aku pernah menghasilkan beberapa tulisan berbentuk cerpen walaupun temanya masih sedikit norak ala ababil yang sedang jatuh cinta atau sedang putus cinta. Setidaknya aku pernah mencoba.
            Aku malu menulis. Aku malu tulisanku dicibir atau diejek orang. Aku sadar, aku cuma mahasiswa fisika yang identik dengan penurunan rumus, membaca buku tebal para ilmuwan, walaupun aku tidak melakukan itu semua. Karena pada kenyataannya aku cuma mahasiswa fisika yang biasa saja dan tanpa keahlian. Aku yakin bukan tanpa keahlian, aku hanya belum menemukan dan menyadari apa keahlianku. Aku ingin menulis. Setidaknya walaupun tidak sebagus tulisan anak sastra, aku sudah mencoba. Mungin itu sedikit berguna untuk memperbanyak kosa kata saat aku menulis skripsiku saat ini. Ya, aku ingin menulis. Rupanya embun pagi memberiku inspirasi untuk berani menulis. Embun pagi juga menjadi salah satu alasan untukku bangun pagi. Udara yang sejuk membuat otakku bekerja lebih baik. Semoga embun pagi selalu menginspirasi dan selalu seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar