Aku :Yan, Lawu
berapa hari?
Ryan : 2 hari cukup. 6-8 jam buat muncak. Kalo
turunnya sih cepet paling 3-4 jam. Kapan ke Lawu? Berapa anak?
Aku : Belum tau.
Tiket masih mahal. Tunggu turun aja.
Ryan : Aku melu
Aku : Boleh. Nanti aku kabari deh. Kenapa kok
minta ikut? Kan udah pernah kesana
Ryan : Baru 2x. Ada
yang tertinggal. Hahaha
Secarik cerita
Beberapa hari yang lalu aku
melakukan obrolan singkat dengan Ryan melalui sosmed BBM. Ryan adalah salah
satu teman yang aku kenal lewat jejaring sosial. Dia adalah mahasiswa Menejemen
Universitas Malang. Entah apa yang membuat kita berdua nyambung, mungkin karena
kita sama-sama suka berpetualang dan berbagi cerita. Dia bukan seorang
mahasiswa pecinta alam, namun hobinya mendaki gunung membuat orang menyangka
bahwa dia seorang mapala. Bagaimana tidak, bahkan dia lebih sering berpergian
menggendong tas cariernya dari pada aku.
Sebagai seorang mahasiswa menejemen, dia memiliki keahlian merangkai
kata yang manis. Aku pikir dia salah jurusan. Mungkin dia lebih cocok menjadi
mahasiswa sastra. Bahkan beberapa kalimat yang pernah aku terima darinya, itu
seperti bukan rangkaian kata biasa. Tapi kalimat para penyair. Sempat aku
menanyakan hal ini kepadanya, dan benar saja dia memang seorang penyair.
Penyair yang senang menulis puisi, skenario, cerpen, dan lainnya. Itu
menjadi alasannya mengapa dia suka mendaki. Katanya sih cari inspirasi untuk
tulisannya.
Ryan Akbar Atmaja
Sebenarnya aku ingin
bepergian. Sudah lama aku berdiam diri di dalam ruangan. Itu membuatku bosan. Aku rindu pada bau
pegunungan, sejuk, indah, tentram. Seorang teman mengajakku ke Gunung Lawu.
Tapi kita tidak hanya berdua karena kita berniat mengajak beberapa teman
lainnya untuk mengukir cerita di atas puncak. Di antara kami belum pernah ke
Lawu, jadi tidak ada salahnya kalo aku menanyakan beberapa pertanyaan singkat
mengenai Lawu pada Ryan. Aku pikir karena dia pernah ke sana sebelumnya.
Sesaat setelah membaca
balasan Ryan mengenai alasannya ingin ikut denganku ke Lawu, aku memikirkan dua
kata yang dia tulis ‘SECARIK CERITA’. Rupanya dia kembali mencekoki diriku
dengan kalimat puitis yang sarat makna. Ahh .. beginilah susahnya kalo gak
punya keahlian mengartikan makna tersirat dari sebuah kalimat. Maklum lah, aku
seorang fisikawan bukan sastrawan (sedikit membela). Tapi aku ingat akan
secarik kertas. Barang kecil yang tidak boleh tertinggal saat kita akan
berpetualang. Itulah yang biasa dikatakan oleh teman mendakiku. Banyak orang mengungkapkan perasaan
dan kegembiraannya di atas puncak dengan secarik kertas. Beberapa kali aku pernah
melakukannya. Saat itu aku gunakan secarik kertas untuk mengungkapkan betapa
aku menyayangi sahabatku.
Secarik kertas di puncak Mahameru (Mt. Semeru)
Surprise dalam secarik kertas di puncak Nirwana
(Mt. Raung)
Bahkan seorang teman mendaki bernama
David atau Mamel melakukan hal yang sama sepertiku. Namun, dia menulis ‘LOVE
MOM’ sebagai bentuk terimakasih dan sayangnya pada ibunda. “Kira-kira Mamel lagi apa ya sekarang? Ahh .. aku yakin
dia baik-baik saja”, tiba-tiba aku memikirkannya. Sudah lama kita tidak berpetualang
bersama, melakukan hal bodoh, saling mengejek, dan saling bermanja. Mungkin
suatu saat nanti akan tiba waktunya. Aku percaya itu.
Secarik kertas Mamel untuk Ibunda
Rasanya aku
tidak sabar untuk mendaki. Aku akan membawa beberapa lembar kertas. Siapa tahu
aku mendapat inspirasi dan menuangkannya dengan menggoreskan penaku di atasnya
atau bahkan aku akan meluapkan perasaan lewat secarik kertas. Mungkin akan
terlihat lebih keren saat aku menulisnya di atas puncak. Adakah di antara
kalian yang ingin aku sampaikan salamnya pada puncak? Seperti yang aku lakukan
saat aku tidak bias menyapa Dewi Rengganis langsung. Syukurlah saudaraku mau
menyampaikannya lewat secarik kertas.
Secarik kertas penghantar salam dari Rengganis
Itulah keajaiban secarik kertas di
atas puncak. Saat
kita merasa sulit mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, mungkin secarik
kertas bisa menggantikannya. Setidaknya itu akan tersampaikan
dari pada hanya dipendam.