Kamis, 23 April 2015

GUNTING DAN JARUM UNTUK KAIN KITA

Kau tahu kapas? Kau tahu benang? Kau tahu kain?
Ya, mereka bagai metamorfosa telur menjadi kupu – kupu. Di antaranya mereka harus kuat menjadi seekor ulat yang menjijikan, menjadi sebuah kepompong yang sangat sabar dalam kesendiriannya untuk menjadi kupu – kupu yang begitu indah, manis, dan cantik. Seakan menikmati sebuah proses walau kenyataannya banyak orang lebih menyukai hasil dan menutup mata untuk sebuah proses. Kapas juga butuh proses untuk menjadi sebuah kain. Butuh waktu untuk membuatnya lebih bernilai. Kain indah membalut tubuh, memberi kesan yang berbeda pada setiap pemakainya.
Kita pernah mempunyai kain putih. Kau pasti bertanya mengapa aku mengumpamakan seperti itu? Mengapa harus putih? Mengapa bukan kain bercorak pelangi yang lebih indah dipandang? Itu karena kitalah yang akan membuatnya bercorak pelangi dengan cerita – cerita kita.
Kain kita putih, bersih, dan terkesan canggung membuatnya kotor. Butuh waktu untuk sebuah perkenalan, memahami satu sama lain, dan menyamankan diri. Akhirnya kita berdua memberanikan diri untuk menyodorkan kuas dengan cat berwarna merah, lalu kuning, lalu hijau, biru, bagai nyanyian anak – anak berjudul “pelangi”. Kita asyik memberi warna tanpa rasa ragu, kita tertawa, bercerita, berangan, walau sedikit takut untuk berharap. Tanpa kita sadar warna hitampun muncul. Dia memberi mendung, kemurungan pada langit kita. Saya akui warna hitam memang berani, membuat kita saling tidak percaya dan meredupkan pelangi kita. Namun, kasih sayanglah yang membuat kita mencoba menerangkan warna merah, kuning, hijau, biru kita. Perlahan hitam merasa terusik lalu menghilang.
Lama kita meninggalkan kain kita. Entah mengapa warnamu meredup. Aku mencoba menutupi warnamu dengan warnaku, namun tidak sanggup. Karena aku tak bisa menguasnya sendiri. Aku ingin bersamamu, bersama – sama, bukan hanya ada ‘AKU’ atau ‘KAMU’, tetapi ‘KITA’. Sebelumnya kau selalu memegang kuas dengan cat berwarna merah dan hijau, lalu aku memegang sisanya, kuning dan biru. Saat aku hanya menguas dengan warna kuning dan biru, maka tidak ada lagi pelangi, tidak ada lagi warna – warni, tidak ada lagi keceriaan, hanya ada lukisan monoton. Lalu aku pun bosan dan membiarkan kain kita begitu saja. Kau pun tak berusaha untuk memperbaiki lukisan kita dan mengikutiku untuk meninggalkannya. Perlahan warnanya luntur lalu semua warna hilang dan kembali menjadi putih walaupun tak bersih.
Lama tak bertemu, kulihat kau membawa gunting. Aku pun siap dengan jarumku. Kita tidak sedang berusaha memberi pola pada kain dengan guntingmu, lalu menjahitnya dengan jarumku dan membuat sebuah baju untuk dipakai. Lebih dari itu, kau hanya ingin menggunting tanpa pola, membuat kain kita compang – camping tak berharga. Mengapa? Sekejam itukah? Kain kita memang jelek sekarang, namun pernahkah kau mengingat pelangi yang terlukis di sana? Bisakah membiarkannya kusam tanpa membuatnya compang – camping? Jarumku selalu sigap, saat kau mencoba menggunting lalu aku menjahitnya, lalu kau mengguntingnya lagi dan aku menjahitnya, lalu kau kembali menggunting aku tak lelah menjahitnya. Sampai kapan? Sampai aku lelah dan tertusuk jarumku sendiri? Mengeluarkan darah dan meneteskannya di atas kain kusam kita? Aku tak bermaksud membuat cat berwarna merah dengan darahku. Bahkan aku sadar aku tak akan bisa melukis tanpa kuas dan cat. Aku hanya ingin membuat kain kita apa adanya, walau kusam namun tanpa sayatan.
Bisakah kau mengabulkannya?

Rabu, 08 April 2015

Upin, Layang-layang, dan Pohon Rindang




Upin tengah asik mengejar sebuah layang-layang di padang rumput yang luas, pandangannya tak pernah lepas dari mainannya. Terkadang dia lelah dan menyadari layang-layang yang putus akan tetap terbang tinggi tertiup angin tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk menangkap. Terkadang Upin merasa lelah dan mencari sandaran. Tiap dia lelah, dia bersandar di pohon rindang yang memberi keteduhan dan memberi kenyamanan. Namun, itu hanya sesaat karena yang ada di pandangan Upin hanyalah layang-layang tersebut. Saat lelahnya mulai menghilang dia kembali mengejar layang-layang hingga jauh meninggalkan padang rumput. lalu dia kembali merasa lelah. Baru disadari bahwa dia tengah berada di padang pasir. Dia mencari tempat berteduh. Namun yang Upin temui hanya padang pasir, tak ada lagi poho rindang yang tanpa syarat apapun bersedia membuat dia nyaman.

Senin, 26 Januari 2015

SECARIK KERTAS DI ATAS PUNCAK


Aku   :Yan, Lawu berapa hari?
Ryan  : 2 hari cukup. 6-8 jam buat muncak. Kalo turunnya sih cepet paling 3-4 jam. Kapan ke Lawu? Berapa anak?
Aku   : Belum tau. Tiket masih mahal. Tunggu turun aja.
Ryan  : Aku melu
Aku   : Boleh. Nanti aku kabari deh. Kenapa kok minta ikut? Kan udah pernah kesana
Ryan  : Baru 2x. Ada yang tertinggal. Hahaha
Secarik cerita

Beberapa hari yang lalu aku melakukan obrolan singkat dengan Ryan melalui sosmed BBM. Ryan adalah salah satu teman yang aku kenal lewat jejaring sosial. Dia adalah mahasiswa Menejemen Universitas Malang. Entah apa yang membuat kita berdua nyambung, mungkin karena kita sama-sama suka berpetualang dan berbagi cerita. Dia bukan seorang mahasiswa pecinta alam, namun hobinya mendaki gunung membuat orang menyangka bahwa dia seorang mapala. Bagaimana tidak, bahkan dia lebih sering berpergian menggendong tas cariernya dari pada aku.  Sebagai seorang mahasiswa menejemen, dia memiliki keahlian merangkai kata yang manis. Aku pikir dia salah jurusan. Mungkin dia lebih cocok menjadi mahasiswa sastra. Bahkan beberapa kalimat yang pernah aku terima darinya, itu seperti bukan rangkaian kata biasa. Tapi kalimat para penyair. Sempat aku menanyakan hal ini kepadanya, dan benar saja dia memang seorang penyair. Penyair yang senang menulis puisi, skenario, cerpen, dan lainnya. Itu menjadi alasannya mengapa dia suka mendaki. Katanya sih cari inspirasi untuk tulisannya.


Ryan Akbar Atmaja

Sebenarnya aku ingin bepergian. Sudah lama aku berdiam diri di dalam ruangan. Itu membuatku bosan. Aku rindu pada bau pegunungan, sejuk, indah, tentram. Seorang teman mengajakku ke Gunung Lawu. Tapi kita tidak hanya berdua karena kita berniat mengajak beberapa teman lainnya untuk mengukir cerita di atas puncak. Di antara kami belum pernah ke Lawu, jadi tidak ada salahnya kalo aku menanyakan beberapa pertanyaan singkat mengenai Lawu pada Ryan. Aku pikir karena dia pernah ke sana sebelumnya.
Sesaat setelah membaca balasan Ryan mengenai alasannya ingin ikut denganku ke Lawu, aku memikirkan dua kata yang dia tulis ‘SECARIK CERITA’. Rupanya dia kembali mencekoki diriku dengan kalimat puitis yang sarat makna. Ahh .. beginilah susahnya kalo gak punya keahlian mengartikan makna tersirat dari sebuah kalimat. Maklum lah, aku seorang fisikawan bukan sastrawan (sedikit membela). Tapi aku ingat akan secarik kertas. Barang kecil yang tidak boleh tertinggal saat kita akan berpetualang. Itulah yang biasa dikatakan oleh teman mendakiku. Banyak orang mengungkapkan perasaan dan kegembiraannya di atas puncak dengan secarik kertas. Beberapa kali aku pernah melakukannya. Saat itu aku gunakan secarik kertas untuk mengungkapkan betapa aku menyayangi sahabatku.

Secarik kertas di puncak Mahameru (Mt. Semeru)

Surprise dalam secarik kertas di puncak Nirwana (Mt. Raung)

Bahkan seorang teman mendaki bernama David atau Mamel melakukan hal yang sama sepertiku. Namun, dia menulis ‘LOVE MOM’ sebagai bentuk terimakasih dan sayangnya pada ibunda. Kira-kira Mamel lagi apa ya sekarang? Ahh .. aku yakin dia baik-baik saja”, tiba-tiba aku memikirkannya. Sudah lama kita tidak berpetualang bersama, melakukan hal bodoh, saling mengejek, dan saling bermanja. Mungkin suatu saat nanti akan tiba waktunya. Aku percaya itu.

Secarik kertas Mamel untuk Ibunda

Rasanya aku tidak sabar untuk mendaki. Aku akan membawa beberapa lembar kertas. Siapa tahu aku mendapat inspirasi dan menuangkannya dengan menggoreskan penaku di atasnya atau bahkan aku akan meluapkan perasaan lewat secarik kertas. Mungkin akan terlihat lebih keren saat aku menulisnya di atas puncak. Adakah di antara kalian yang ingin aku sampaikan salamnya pada puncak? Seperti yang aku lakukan saat aku tidak bias menyapa Dewi Rengganis langsung. Syukurlah saudaraku mau menyampaikannya lewat secarik kertas.


Secarik kertas penghantar salam dari Rengganis


Itulah keajaiban secarik kertas di atas puncak. Saat kita merasa sulit mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, mungkin secarik kertas bisa menggantikannya. Setidaknya itu akan tersampaikan dari pada hanya dipendam.

IMAJINASI DI PINTU LEMARI



            “Upik, punya sepidol?”, teriakku siang itu di depan pintu salah satu kamar kosan. “Ada mbak, tapi permanen”, jawabnya dengan mengeluarkan sebuah spidol dari keranjang penanya. Upik adalah tetangga kamar kosku.
Siang itu tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. Sendiri di dalam kamar terkadang membuatku bosan dan bingung mau melakukan apa. Hal ini sering terjadi apalagi saat Ulya (teman sekamar) harus pulang ke rumahnya atau sedang pergi ke luar kota. Aku melihat lemari pakaian putih yang berada tepat di sebelah tempat tidurku. Ya, itu adalah lemari kita. Di bagian atas ada beberapa tulisan penyemangat yang ditulis Ulya dan beberapa stiker tertempel. Namun, bagian bawah masih kosong. Setelah beberapa menit memandangnya, aku mulai memejamkan mata. Aku membayangkan sebuah jembatan panjang dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi. Di sana juga terdapat lampu-lampu jembatan yang berjejer di sisi jembatan dan beberapa burung yang sedang terbang di atasnya.
            Aku bangun dari tempat tidurku dan bermaksud meminjam sebuah sepidol pada Upik, karena spidol yang ku punya tertinggal di rumah. Setelah mendapatkan sepidol, aku mulai menuangkan imajinasiku di pintu lemari. Sempat canggung dan takut menggambar karena sepidolku permanen. Belum lagi kalo aku salah menggambar, bagaimana caraku menghapusnya. Beberapa teman di sosmed menyarankan untuk menghapusnya menggunakan minyak kayu putih atau aseton. Walaupun aku mempunyai kedua penghapus tersebut, namun aku memutuskan untuk membuat polanya terlebih dahulu menggunakan pensil. Setelah jadi, aku mulai menebalinya menggunakan sepidol.
Tidak butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Aku memandang karyaku dan sesekali tersenyum. “Ternyata aku punya bakat arsitek”, pikiranku konyol. Ngomong-ngomong soal arsitek, aku jadi ingat sesuatu. Saat itu aku masih berada di bangku SMA. Suatu hari ada sebuah lembaga yang entah aku pun lupa namanya datang ke sekolahku. Lembaga itu biasa membaca karakter, keahlian terpendam yang dimiliki oleh tiap peserta tesnya. Sebelumnya aku pernah mengikuti tes IQ dan kali ini aku mengikutinya untuk mengetahui apa sebenarnya bakat yang aku miliki. Beberapa soal aku selesaikan dan soal terakhir adalah menggambar. Setelah selesai menggambar, tiap peserta diminta menuliskan jurusan yang kita inginkan. Aku menulis ‘TEKNIK SIPIL’. Setidaknya dulu aku memang tertarik dengan jurusan itu. Beberapa bulan setelah itu hasilnya keluar. Aku kaget dan sempat tidak percaya karena hasilnya adalah ‘Kedokteran Gigi’ di pilihan pertama dan ‘Arsitektur’ di pilihan kedua. Beberapa teman juga heran dan yang lain memberi selamat. Tapi tetap saja aku pesimis karena keluargaku tidak akan mengijinkannya. Yah, ternyata memang benar. Ceritanya panjang dan beberapa pertimbangan pada akhirnya aku tidak mengambil kedua jurusan itu. Mungkin aku ditakdirkan menjadi fisikawan. Lupakanlah hal itu. Anggap saja aku ingin berbagi kisah.

Golden Gate Bridge imajinasi

“ckrekk!”, suara kamera handphoneku. Aku mengambil beberapa foto dari gambar itu. Tak lupa aku share di sosmed. Beberapa menit kemudian hp ku berbunyi. Rupanya ada pemberitahuan dari BBM. Seseorang mengomentari gambarku “Jembatan Suramadu”. Sejenak aku berpikir apa benar gambarku mirip dengan jembatan suramadu? Bahkan bentuknya saja aku tak tahu karena aku juga belum pernah melihat secara langsung jembatan terpanjang di Indonesia yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura itu. Lalu aku membuka hp ku dan memulai untuk searching. Ternyata tidak mirip. Beberapa foto jembatan di dunia aku cari dan ada sebuah jembatan yang hampir menyerupai gambarku. Di sana tertulis ‘GOLDEN GATE BRIDGE’. Jembatan ini terletak di San Fransisco AS dengan panjang 2.737 m. Indah sekali jembatan itu. Bangunannya terlihat kokoh. Suatu saat aku ingin ke sana. Sebelum waktunya tiba, aku sudah menyimpannya di lemari.

 Golden Gate Bridge

Alarm Tengah Malam, Tandanya Pangeran Datang




“Kriiiiiing, kriiiiing”
Suara alarm tengah malam. Aku pikir itu adalah suara alarm, ternyata itu suara handphone Diar. Diar adalah sahabatku. Dia salah satu orang terdekatku. Sebagai sahabat dia orang yang sempurna, baik, cantik, dan perhatian. Sering kali kita gruvy (selfie yang dilakukan oleh dua orang atau lebih), dan beberapa orang menyangka kita adalah anak kembar terutama orang asing yang melihat kita sedang berdua.

 Petugas kereta menyangka kita adalah anak kembar



Menyuapkan makanan adalah tanda teman perhatian

Bahkan Diar terlihat cantik dengan pose alay

Kebetulan beberapa hari ini dia bermalam di kamarku. Katanya sih cari suasana baru. Aku pikir alasan itu cuma modus. Mungkin dia sedang galau. Entahlah ..
Dia mengangkat telponnya dan mulai perbincangan dengan si penelpon. Sesekali aku menguping. Sebenarnya bukan sepenuhnya menguping, tapi tidak sengaja mendengarnya karena telingaku berbeda dengan orang biasa. Telingaku tercipta lebih lebar dari yang lain dan menurutku itu adalah suatu kelebihanku. Karena perbincangan yang kurang menarik atau kupikir lebih privasi, aku memutuskan untuk tidur saja.  
Waktu itu cuaca sedang tidak bersahabat. Mendung dan hujan membuat kita berdua berdiam saja di dalam kamar. Sepertinya kita tidak diijinkan oleh alam untuk bepergian. Sesekali keluar menuju kamar mandi atau dapur. Selebihnya dihabiskan di dalam kamar untuk menonton pilm atau berbincang dan itu terjadi sepanjang pagi hingga petang.
Malam berikutnya seperti biasa aku mengerjakan deadline. Ya, skripsweet yang akhir-akhir ini selalu minta diperhatikan. Semoga saja usahaku menuruti permintaan skripsweetku membuahkan hasil dan segera selesai. Memang akhir-akhir ini aku sedang bersemangat untuk segera lulus. Apalagi beberapa teman seangkatanku akan segera wisuda. Itu menjadi salah satu doronganku untuk cepat lulus. Tapi bagai bumi dan langit. Aku melihat Diar lebih santai dariku. Sesekali membuka pesan dari handphonenya dan sesekali melihat laptopnya. Aku pikir dia juga sedang mengerjakan skripsinya karena dia juga sedang menempuhnya. Ternyata dia sedang menulis sebuah cerita. Mungkin cerita tentang kisahnya. Sudahlah, yang penting dia bahagia. Aku tidak akan melarangnya.
Malam mulai larut. Sesuai prediksi malam ini pasti dia menelpon lagi. Dan ternyata memang terbukti. “Alarm tengah malam, tandanya pangeran datang”.  Dengan wajah sumringah, Diar mengangkat telpon. Sesekali mereka berbicara serius, sesekali berbicara santai, dan terkadang dia tertawa sendiri. Aku tidak bermaksud menggangunya. Biarkan saja, mungkin ini rasanya jatuh cinta. Toh aku juga pernah merasakannya. Dia seperti cerminanku saat itu. Terbangun tengah malam hanya sekedar membalas pesan singkat dari kekasihku. Bahkan menyalakan alarm pun tak perlu karena aku selalu bisa terbangun. Dia mengingatkanku bagaimana rasanya jatuh cinta.