Kau tahu kapas? Kau tahu benang? Kau tahu
kain?
Ya, mereka bagai metamorfosa telur menjadi kupu – kupu. Di antaranya
mereka harus kuat menjadi seekor ulat yang menjijikan, menjadi sebuah kepompong
yang sangat sabar dalam kesendiriannya untuk menjadi kupu – kupu yang begitu
indah, manis, dan cantik. Seakan menikmati sebuah proses walau kenyataannya
banyak orang lebih menyukai hasil dan menutup mata untuk sebuah proses. Kapas juga
butuh proses untuk menjadi sebuah kain. Butuh waktu untuk membuatnya lebih
bernilai. Kain indah membalut tubuh, memberi kesan yang berbeda pada setiap
pemakainya.
Kita pernah mempunyai kain putih. Kau
pasti bertanya mengapa aku mengumpamakan seperti itu? Mengapa harus putih? Mengapa
bukan kain bercorak pelangi yang lebih indah dipandang? Itu karena kitalah yang
akan membuatnya bercorak pelangi dengan cerita – cerita kita.
Kain kita putih, bersih, dan terkesan
canggung membuatnya kotor. Butuh waktu untuk sebuah perkenalan, memahami satu
sama lain, dan menyamankan diri. Akhirnya kita berdua memberanikan diri untuk
menyodorkan kuas dengan cat berwarna merah, lalu kuning, lalu hijau, biru,
bagai nyanyian anak – anak berjudul “pelangi”. Kita asyik memberi warna tanpa
rasa ragu, kita tertawa, bercerita, berangan, walau sedikit takut untuk
berharap. Tanpa kita sadar warna hitampun muncul. Dia memberi mendung,
kemurungan pada langit kita. Saya akui warna hitam memang berani, membuat kita
saling tidak percaya dan meredupkan pelangi kita. Namun, kasih sayanglah yang
membuat kita mencoba menerangkan warna merah, kuning, hijau, biru kita. Perlahan
hitam merasa terusik lalu menghilang.
Lama kita meninggalkan kain kita. Entah
mengapa warnamu meredup. Aku mencoba menutupi warnamu dengan warnaku, namun
tidak sanggup. Karena aku tak bisa menguasnya sendiri. Aku ingin bersamamu,
bersama – sama, bukan hanya ada ‘AKU’ atau ‘KAMU’, tetapi ‘KITA’. Sebelumnya kau
selalu memegang kuas dengan cat berwarna merah dan hijau, lalu aku memegang
sisanya, kuning dan biru. Saat aku hanya menguas dengan warna kuning dan biru,
maka tidak ada lagi pelangi, tidak ada lagi warna – warni, tidak ada lagi
keceriaan, hanya ada lukisan monoton. Lalu aku pun bosan dan membiarkan kain
kita begitu saja. Kau pun tak berusaha untuk memperbaiki lukisan kita dan
mengikutiku untuk meninggalkannya. Perlahan warnanya luntur lalu semua warna
hilang dan kembali menjadi putih walaupun tak bersih.
Lama tak bertemu, kulihat kau membawa
gunting. Aku pun siap dengan jarumku. Kita tidak sedang berusaha memberi pola
pada kain dengan guntingmu, lalu menjahitnya dengan jarumku dan membuat sebuah
baju untuk dipakai. Lebih dari itu, kau hanya ingin menggunting tanpa pola,
membuat kain kita compang – camping tak berharga. Mengapa? Sekejam itukah? Kain
kita memang jelek sekarang, namun pernahkah kau mengingat pelangi yang terlukis
di sana? Bisakah membiarkannya kusam tanpa membuatnya compang – camping? Jarumku
selalu sigap, saat kau mencoba menggunting lalu aku menjahitnya, lalu kau
mengguntingnya lagi dan aku menjahitnya, lalu kau kembali menggunting aku tak
lelah menjahitnya. Sampai kapan? Sampai aku lelah dan tertusuk jarumku sendiri?
Mengeluarkan darah dan meneteskannya di atas kain kusam kita? Aku tak bermaksud
membuat cat berwarna merah dengan darahku. Bahkan aku sadar aku tak akan bisa melukis
tanpa kuas dan cat. Aku hanya ingin membuat kain kita apa adanya, walau kusam namun
tanpa sayatan.
Bisakah kau mengabulkannya?